Saturday, January 20, 2007 |
Jenderal Pun Takluk kepada Cukong Kayu |
|
kompas, 13 Januari 2007 Tahun pertama memegang amanah sebagai Menteri Kehutanan, banyak pihak kagum terhadap kinerja Malam Sambat Kaban. Pria berbadan tegap, berkacamata, dan jarang basa-basi ini tegas menyatakan perang terhadap pembalakan liar atau illegal logging. Tak sebatas pernyataan, berbagai kebijakan sang menteri membuat gerah para penebang liar dan cukong-cukongnya. Selain meninjau langsung dan membuat kesepakatan pemberantasan pembalakan liar di berbagai daerah, Kaban juga menyerahkan puluhan nama pelaku, yang menyebabkan 70 persen hutan di Indonesia rusak, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kebijakan Kaban menyebabkan puluhan "pemain" di bidang kayu ilegal terpaksa berurusan dengan hukum. "Termasuk para penebang liar di perbatasan. Kini sudah relatif bersih dari kayu ilegal," ujar Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan Boen K Purnama, saat ditemui, Kamis (11/1). Namun, tak ada gading yang tak retak. Kinerja Kaban yang cemerlang pada tahun pertama, kini mulai dikritik berbagai pihak. Banyak yang menyebut kebijakan pemerintah terhadap kasus pembalakan liar adalah kebijakan "tebang pilih", bahkan boleh dibilang setengah hati. "Cecurut" memang ditangkap, namun cukong-cukong besar yang merugikan negara triliunan rupiah masih bebas melenggang. Salah satu yang paling disorot oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat adalah kasus tertangkapnya Adelin Lis, pemilik PT Mujur Timber Group dan PT Keang Nam, yang melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal (Madina) Sumatera Utara. Adelin, yang merugikan negara hingga Rp 427 triliun berhasil ditangkap di China berkat laporan petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Dia lalu diperiksa di Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara. Namun, Kaban lalu menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan Adelin tadi tidak melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999, tetapi pelanggaran administrasi. Sebab, hak penguasaan hutan (HPH) yang dimiliki oleh PT Mujur Timber masih berlaku. Oleh karena itu, wewenang pemeriksaannya ada di tangan Departemen Kehutanan (Dephut) dengan sanksi berupa pencabutan HPH. Selain itu, kebijakan lain yang menuai protes adalah keluarnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 5/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara. Permenhut itu memangkas jumlah dokumen kayu. Sebelumnya, kayu yang akan diolah harus mempunyai dua surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH). Menurut aturan baru, hanya diperlukan satu surat keterangan sahnya kayu bulat (SKSKB). Mengherankan Melembeknya sikap pemerintah yang semula seperti "unjuk gigi" namun ternyata hanya gigi ompong yang tampak dalam memberangus pembalakan kayu, mengherankan sejumlah pihak, khususnya kalangan LSM. Penebangan dan pengangkutan kayu secara ilegal yang terjadi secara terbuka dan dilakukan di depan mata aparat, malah begitu sulit ditertibkan. Lebih parah lagi, tidak jarang oknum aparat ikut mengawasi penebangan dan pengangkutan kayu ilegal. "Tidak mengherankan, banyak tongkang yang mengangkut kayu ilegal selalu lolos dari pengawasan polisi sebab telah terbina hubungan saling menguntungkan antara cukong dan oknum polisi," kata Mohammad Yayat Afiando dari Telapak Indonesia, sebuah LSM. Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengaku heran dengan lemahnya pemerintah dalam penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku pembalakan hutan. Menurut dia, memberantas pelaku pembalakan seharusnya lebih mudah dilakukan sebab penebangan liar dilakukan secara terang-terangan. "Saya bingung, Presiden kita saja jenderal bintang empat, tetapi kok tidak mampu menanggulangi illegal logging. Padahal, salah satu janjinya adalah memberantas pembalak hutan. Ini ada apa?" kata Elfian dengan nada bertanya. Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia Christian Purba menilai, penegakan hukum kasus pembalakan liar di Indonesia masih lemah. Beberapa kasus penebangan liar yang telah diajukan ke pengadilan mendapat hukuman sangat ringan sehingga tidak menimbulkan efek jera. "Yang ditangkap level operator, bukan pemain atau dalangnya. Walaupun kita sudah punya perangkat hukum yang banyak, mulai dari UU 41 Tahun 1999, UU korupsi, dan lain-lain, kita kembali lagi ke penegakan hukum. Law enforcement kita lemah," ujar Christian. Ironisnya, titik lemah justru terletak di aparat penegak hukum seperti jaksa atau polisi yang sebenarnya punya kewajiban dalam menegakkan hukum di Indonesia. "Workshop atau pelatihan sudah banyak. Namun, sistem yang tidak transparan membuat mereka bisa bermain," ujarnya. Sebaliknya, Boen beranggapan, Dephut sangat konsisten dalam memberantas pembalakan liar. Akan tetapi, Dephut memiliki batas yurisdiksi. Di luar batas itu, Dephut tidak bisa berbuat apa- apa. "Perlu ada kesamaan tindakan dan pemahaman yang sama dari semua unsur," ujarnya. Selain mengefektifkan peranan polisi hutan dalam pengawasan di lapangan, Dephut juga telah memasukkan RUU Pemberantasan Pembalakan Liar yang tengah digodok di DPR. Setelah disahkan menjadi UU, nantinya pengadilan bagi para pelaku penebangan liar adalah pengadilan ad hoc, seperti pelaku korupsi. "Nanti ada ancaman hukuman mati dan denda hingga miliaran rupiah," ujar Kepala Biro Hukum dan Organisasi Dephut Suparno. Elfian mendukung RUU Pemberantasan Pembalakan Liar yang memungkinkan adanya pengadilan ad hoc untuk menjerat pembalak hutan. Alasannya, mengandalkan pengadilan yang ada sekarang ini tidak ada hasilnya. "Selama ini pengadilan cukup brengsek dalam menangani pelaku pembalakan hutan sebab yang ditangkap hanya yang terkait dengan kepentingan politik saja," katanya. Setengah hati Ada dua masalah mendasar mengapa kasus penebangan dan penjualan kayu ilegal sulit ditertibkan. Pertama, adanya keterlibatan oknum instansi terkait, seperti Departemen dan Dinas Kehutanan, Kepolisian, TNI, hakim, dan jaksa dalam sindikat tersebut. Peran yang dimainkan pun sangat variatif sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi. Oknum jaksa atau hakim, misalnya, menjerat pelaku dengan hukuman yang ringan, dan cenderung divonis bebas. Terbukti, dari 173 orang yang ditangkap pada tahun 2005, sekitar 80 persen di antaranya dibebaskan dari segala hukuman. Sebanyak 20 persen sisanya dikenai sanksi ringan. Lalu, tahun 2006 ditangkap 14 cukong kayu kelas menengah dan kakap, tetapi semuanya tidak tersentuh hukum. Penanganan hukum yang setengah hati itu dikhawatirkan menimbulkan demotivasi pada aparat di lapangan. Hasil kerja mereka di lapangan dengan menangkap pelaku pencurian kayu tidak dihargai aparat penegak hukum dalam proses peradilan. Pelaku divonis bebas dan tidak tersentuh hukum. Kedua, keterlibatan aparat dalam kegiatan kayu ilegal bukan semata-mata dalam bentuk fisik di lapangan. Akan tetapi, juga bisnis. Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, sekitar 80 persen perusahaan kayu di kota itu menampung kayu ilegal. Perusahaan itu pun umumnya dimodali Primkopad, Primkopal dan koperasi lain sejenisnya," ujar Yayat. Ketiga, pencurian kayu telah menjadi bagian dari jaringan sindikat internasional. Sejumlah negara, seperti Vietnam, Malaysia, China, Hongkong, dan Uni Eropa, cenderung melegalkan perdagangan kayu hasil pencurian di negara-negara tropis. Langkah sebagai upaya mendapatkan kayu berkualitas tinggi dengan harga murah. Jaringan yang terbangun antara pengimpor kayu ilegal dan cukong di Indonesia begitu solid dan rapi. Bagaimana kayu Indonesia bisa beredar di pasar Eropa maupun Amerika Serikat, Elfian mengungkapkan pengalamannya saat berkunjung ke Zurich, Swiss. Ia pernah mendatangi seseorang yang bisa mendatangkan kayu asal Indonesia. Sikap Eropa sendiri dalam hal ini, menurut Elfian, mendua. Mereka tetap "makan" kayu ilegal dengan memperjualbelikan kayu asal Indonesia karena kebutuhan akan kayu yang semakin meningkat. "Malaysia selalu disebut-sebut sebagai eksportir kayu terbesar untuk pasar Eropa. Lha, kayu dari Malaysia itu dari mana lagi kalau bukan dari Indonesia, sementara Indonesia sendiri menerapkan larangan ekspor kayu gelondongan," katanya. Masalah lain adalah pemerintah sendiri tak menyiapkan regulasi yang dapat menyeret semua pelaku sindikat pencurian kayu. UU No 41/1999 tentang Kehutanan tidak bisa menjerat para pelaku di balik layar, terutama pemodal. Yang diseret hanyalah pelaku kelas teri, antara lain nakhoda kapal, sopir truk, atau penebang. Kondisi buruk itu diperparah lagi dengan renggangnya kerja sama antarinstansi terkait. Dari 18 instansi yang ditugaskan untuk menertibkan pencurian kayu tersebut hanya sebagian kecil yang serius dan kompak. Akan tetapi, sebagian besar masih berkolusi dengan pelaku dan pemodal pencurian kayu. (IRN/JAN/PEP) |
posted by forestwatcher @ 5:49 PM |
|
|
|
|